Rakyat Kepri Jangan Jadi “Anak Yatim Zaman”

Rakyat Kepri Jangan Jadi “Anak Yatim Zaman”

@ Dalam kontkes FTZ BBK

Oleh : Yusron Aminulloh*

 

            Dengan penuh keyakinan, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono  menegaskan,”Masa depan perekonomian Kepri sangat cerah. Mudah-mudahan BBK (Batam, Bintan, Karimun) tak hanya menjadi pilar pertumbuhan ekonomi nasional, tapi juga dunia,”ujarnya saat memberi sambutan peresmian FTZ (Frade Trade Zone) BBK di Batam (Batam Pos, 20 Januari 2009).

            Tentu, tidak ada yang salah dalam posisi kepala Negara dan kepala pemerintahan, seorang Presiden optimis, bahkan sangat optimis seperti itu. Tetapi yang harus dicatat, hendaknya, statemen tersebut tidak sekadar memberi harapan pada masyarakat yang sedang “siap-siap” menghadapi masa sulit akibat krisis global, tetapi dibalik itu SBY harus punya “ikatan moral” yang kuat untuk mewujudkannya.

            Dalam perspektif psikologis, boleh jadi kedatangan Presiden ke Batam dalam konteks Peresmian FTZ BBK, punya nilai positif yang luar biasa. Setidak-tidaknya menunjukkan keseriusan Pemerintah Pusat untuk mewujudkan sebuah kebijakan yang “memihak” ke daerah, walaupun efek psikologis bisa menjadi tidak produktif atau minimal “tertunda-tunda”— sebagaimana kebiasaan birokrasi— kalau “bawahan” Presiden tidak mengikuti dengan melahirkan ragam regulasi yang sampai saat diresmikan belum juga ada titik jelas.

            Bahkan Menteri Perdagangan yang mendampingi SBY mengakui,  pelaksanaan FTZ masih menunggu dua produk hukum lainnya. Pertama; Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) tentang petunjuk pelaksanaan dilapangan untuk petugas bea cukai dan pajak. Kedua, penetapan jenis dan jumlah barang yang diperbolehkan masuk ke Batam, Bintan dan Karimun oleh Badan Pengusahaan Kawasan (BP Kawasan).

            Ditengah situasi bangsa yang sedang menuju transisi demokrasi, dan ditengah perbedaan persepsi tentang hukum dan kewenangan di jajaran BP Kawasan pada satu sisi, dan kemauan pemerintah pusat yang “setengah hati” pada sisi lain, tentu tidak mudah mewujudkan dua aturan itu dalam waktu sangat pendek.

 

Lima Faktor Penghambat

 

            Hasil analisis informasi dari media dan dialog adengan banyak kalangan di Kepri, ada lima catatan yang perlu penulis sampaikan.:

            Pertama : Fakta sosiologis menunjukkan, kata “masa depan cerah Kepri” dalam bahasa Presiden bukanlah kata kerja yang menunjukkan waktu. Melainkan ungkapan yang lebih pada dataran ide, gagasan atau kalau lebih tepat disebut keinginan. Bahkan keinginan itu juga subyeknya bukanlah masyarakat luas, namun orang-orang tertentu yang dapat kesempatan menggunakan kemudahan-kemudahan yang telah diberikan oleh regulasi.

            Kedua : Dalam realitas ekonomi, pada saat pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi investasi dalam dan luar negeri lewat FTZ BBK, kenyataan banyak pabrik—termasuk di Bintan dan Batam—yang siap-siap gulung tikar dan memPHK karyawannya. Bukan saja karena besarnya beaya produksi tidak imbang dengan nilai jual, tetapi juga faktor krisis global jelas-jelas berimbas secara langsung. Artinya, kebijakan FTZ hampir pasti akan jalan ditempat. Apalagi banyak faktor non teknis yang harus dihadapi setiap peluang investasi.

            Ketiga : Regulasi seindah apapun, tanpa didampingi oleh keberanian pemerintah pusat memberikan anggaran yang cukup untuk infrastruktur, tampaknya akan sia-sia belaka. Memang agak ganjil negeri ini. Banyak kewajiban-kewajiban yang seharusnya menjadi beban negara (pemerintah) seringkali dibebankan pada investor. Sementara pada saat yang sama, banyak negera berkembang sedang membuka peluang besar-besaran investasi dengan kemudahan infrastruktur yang memang disiapkan oleh pemerintah. Ini artinya investor asing pasti akan milih-milih negara.

            Bagaimana akan mudah dan cepat para investor masuk FTZ BBK, kalau hal-hal prinsip yang harus tersedia ternyata sampai hari ini belum disiapkan. Seharusnya sebelum FTZ BBK diresmikan, yang berarti mengundang datangnya investor, tidak boleh ada lagi problema listrik, jalan, telepon, air dan pelabuhan. Tapi inilah Indonesia, ibaratnya sudah mengundang makan malam dan tamu undangan sudah siap datang, tapi tuan rumah masih belum belanja apalagi memasak untuk hidangan para tamu.

            Keempat :  Kesiapan aparatur birokrasi. Ini bukan masalah sederhana. Perlu persiapan yang tidak sederhana. Setidaknya-tidaknya pola hubungan birokrasi dengan masyarakat di Kepri yang selama ini terjadi, masih pola hubungan kepentingan yang birokrasi menjadi fokus. Artinya, masyarakat belum ”boleh” menuntut kalau tidak boleh disebut meminta dilayani oleh aparat.

            Perlunya perubahan minzet aparat untuk bisa menjadi ”pelayanan” masyarakat dan pada akhirnya juga menjadi pelayanan investor juga . Perubahan ini membutuhkan energi yang luar biasa untuk melakukannya. Karena bertahun-tahun pola itu sudah menjadi bagian dari kehidupan birokrasi. Artinya, ujung tombak perizinan dan atau instansi yang berkaitan langsung dengan iklim usaha harus dalam frekwensi yang sama.

            Kelima : Boleh saja ”orang Jakarta” mengatakan kita akan menguasai Indonesia bahkan dunia lewat FTZ, tapi sejauhmana kesiapan masyarakat menghadapinya? Fakta dilapangan menunjukkan, kesiapan itu belum dilakukan. Persiapan SDM putra daerah masih sebatas wacana. Padahal untuk bisa terlibat langsung dalam proses industrialisasi, terutama untuk menjadi tenaga inti apalagi tenaga ahli, tidak cukup hanya ”gelar” S-1 dan S-2, yang diperlukan lebih banyak ketrampilan dan keahlian serta profesionalisme di bidangnya.

            Seharusnya, empat tahun sebelum FTZ diresmikan Presiden SBY, 2005 yang lalu pemerintah sudah seharusnya menyiapkan lembaga-lembaga pelatihan profesional, Balai Latihan Kerja yang sungguh-sungguh melahirkan anak muda yang cakap di bidang-bidang tertentu seperti permesinan, Teknologi, komunikasi dan seterusnya. Pemerintah daerah sudah menyiapkan anak-anak muda berbakat untuk kuliah dan kursus sesuai kebutuhan FTS BBK.

            Sehingga ketika industrialisasi berkembang di FTZ, anak-anak Kepri bisa bekerja di bagian operator mesin, kajian ilmiah produksi, public relation, marketing yang handal dan seterusnya. Bukan hanya menjadi tenaga umum, apalagi menjadi tenaga pengamanan dan administrasi. Sementara yang profesional diambil oleh orang luar Kepri dan bahkan luar Indonesia.

            INILAH lima faktor yang akan menjadi penghambat terlaksananya FTZ BBK. Kalaupun dipaksakan harus dilakukan tahun 2009 dan mengabaikan lima faktor tersebut, penulis yakin ”impian” SBY masa depan Kepri cerah bisa jadi akan terlaksana, tapi yang menikmati bukanlah masyarakat Batam, Bintan dan Karimun secara khusus dan masyarakat Kepri secara umum, namun justru orang-orang diluar Kepri dan bahkan diluar Indonesia. Tentu sungguh sangat memprihatinkan.

Kalau hal mendasar ini tidak ditangani secara integral, yang lahir adalah sebuah realitas menyedihkan. Rakyat Kepri akan menjadi “Anak Yatim Zanab”. Mereka hanya akan menjadi pekerja kelas II bahkan kelas III. Yang berperan justru warga luar kepri dan bahkan luar negeri. Ini tenaga terampil dan profesional hanya dimiliki oleh mereka. Maka pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus mengatasi problema ini sejak dini,

 

 

Penilis adalah Pengamat Sosial

Dan Staf Peneliti Humanika International Batam.

Tinggalkan komentar